Kamis, 08 Desember 2011

PSIKOLOGI TRANSPERSONAL DAN AGAMA


  1. PSIKOLOGI TRANSPERSONAL
Menurut Tart (1993), Psikologi Transpersonal merupakan kekuatan keempat dalam psikologi yang dikembangkan dari psikologi humanistik pada tahun 1960-an. “Trans” berasal dari akar kata Latin yang berarti melewati, melewati “persona”, topeng sosial, diri (self) dan pribadi.Sementara itu, Daniels (2007) menjelaskan bahwa Psikologi Transpersonal merupakan cabang psikologi yang memusatkan perhatiannya pada studi tentang bagian dan proses tentang pengalaman mendalam atau perasaan yang luas tentang siapa dirinya atau sensasi yang besar terhadap koneksitas dengan orang lain, alam atau dimensi spiritual. Kata transpersonal berarti melewati personal atau pribadi. Salah satu asumsi dalam psikologi transpersonal adalah bahwa pengalaman transpersonal meliputi suatu kesadaran yang lebih tinggi dimana self atau ego mengalami proses transendensi.
Davis (2007) menempatkan posisi Psikologi Transpersonal di antara psikologi dan pengalaman spiritual. Psikologi Transpersonal merupakan bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode psikologis dengan bidang spiritual. Sebagaimana yang dikemukakan Daniels, Davis juga mengatakan bahwa konsep utama dari Psikologi Transpersonal adalah transendensi diri atau suatu sensasi terhadap identitas yang mendalam, meluas dan menyatu dengan segalanya. Akar kata dari transpersonal atau melewati topeng mengacu pada kondisi transendensi diri tersebut.
Guralnik (dalam Brown, 2001) menyebutkan bahwa kata “trans” dalam bahasa Latin berarti “di sisi lain” seperti terwujud dalam kata transatlantic atau “di atas dan melewati” seperti pada kata transendensi. Sedangkan “persona” dalam bahasa Latin berarti “topeng”. Kata personality diturunkan dari terminologi topeng tersebut dan mengacu pada suatu kualitas perilaku yang diekspresikan melalui aktivitas fisik dan mental serta sikap. Psikologi Transpersonal menurut Brown (2001) berusaha membantu seseorang untuk mengeksplorasi tingkat energi dan melewati kesadaran (awareness) atau sisi lain dari topeng dan pola-pola kepribadian.
Psikologi Transpersonal bersifat longgar dan menerima masukan tentang permasalahan spiritual, baik dari tradisi kebijaksanaan dunia spiritual maupun psikologi modern. Tradisi dunia spiritual meliputi Hinduisme, Budhisme dan Taoisme maupun dari agama Yahudi, Kristen dan Islam. Psikologi Transpersonal ingin menciptakan sintesis dari kedua jawaban di atas (Cortright, 1997 dalam Adi, 2002).
Rueffler (1995) mengatakan bahwa akar kata dari transpersonal diambil dari bahasa Latin “trans” yang berarti “melewati”, “melebihi” dan “persona” yang berarti “topeng”. Jadi, singkatnya Psikologi Transpersonal adalah ekspresi dari jiwa yang melewati dan melampau topeng.
Lebih lanjut Vaughn (dalam Rueffler, 1995) mengatakan bahwa pada saat ini, Psikologi Transpersonal memberikan model dari seluruh spektrum perkembangan kesadaran yang menjadi jembatan antara aliran-aliran psikologis dan aliran-aliran spiritual. Bidang ini menjadi sesuatu yang menarik bagi orang-orang yang ingin menumbuhkan spiritualitasnya dan mengembangkan kesehatan psikologisnya dengan kualitas tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Psikologi Transpersonal merupakan kekuatan keempat dalam bidang psikologi yang menjembatani antara psikologi dan spiritual dimana memusatkan perhatiannya pada studi tentang bagian dan proses tentang pengalaman mendalam atau perasaan yang luas tentang siapa dirinya atau sensasi yang besar terhadap koneksitas dengan orang lain, alam atau dimensi spiritual dan berusaha membantu seseorang untuk mengeksplorasi tingkat energi dan melewati kesadaran (awareness) atau sisi lain dari topeng dan pola-pola kepribadian.
1.      Pengertian Psikologi transpersonal
Psikologi transpersonal mempunyai perhatian terhadap studi potensial tertinggi umat manusia dan dengan pengakuan, pemahaman dan perealisasian keadaan-keadaan kesadaran yang mempersatukan, spiritual dan transenden.
Transformasi kesadaran merupakan tinjauan pokok dari psikologi transpersonal, yakni studi mengenai pengalaman-pengalaman yang mendalam, perasaan keterhubungan dengan pusat kesadaran semesta, dan penyatuan dengan alam. Ada kesepakatan umum dari para tokoh cabang psikologi ini, untuk tidak mengidentikkan mazhab ini dengan keagamaan secara formal. Psikologi transpersonal bukanlah agama, bukan ideologi, bukan juga metafisika dan bahkan bukan New Age (seperti praktik aura, crsytal, aromatherapy, kajian UFO, dll) meskipun ada sedikit irisan dengannya.
2.      Cabang - cabang Psikologi transpersonal
Tapi definisi ini tidak mengakomodasi kepentingan orang-orang yang berhubungan dan mengklaim diri sebagai pengikut mazhab transpersonal, sehingga mau tidak mau kita harus membagi mazhab transpersonal ini juga dalam empat cabang.
a.      Kelompok Mistis magis
Kelompok pertama adalah kelompok mistis-magis. Menurut kelompok ini kesadaran transpersonal bersesuaian dengan kesadaran para dukun dan shaman masa lalu. Pandangan ini dianut oleh para aktivis New Age, dan salah satunya gerakan teosofi yang dipimpin oleh Helena Blavatsky. Seringkali romantisme dari kelompok ini menyulitkannya untuk berinteraksi dengan arus utama psikologi.
b.      Kelompok psiko-fisiologis
Kedua adalah kelompok tingkat kesadaran alternatif yang biasanya menolak konsep-konsep perkembangan, tahap-tahap dan praktik peningkatan kesadaran. Mereka lebih suka meneliti keadaan kesadaran sementara secara psiko-fisiologis dengan memelajari keadaan-keadaan fisik seseorang yang berada dalam keadaan transpersonal. Kelompok ini bersama kelompok ekoprimitivisme menganjurkan penggunaan media (seperti zat-zat kimia atau psikotropika) untuk pencapaian keasadaran transpersonal. Tokoh yang cukup penting dalam kelompok ini adalah Stanislav Grof yang menggunakan LSD untuk psikoterapinya. Setelah penggunaan LSD dilarang pemerintah, Grof kemudian menggunakan teknik pernapasan (pranayama) dari tradisi Timur, yang disebutnya sebagai Holotrophic Breathwork.
c.       kelompok transpersonalis postmodern
Kelompok ketiga, kelompok transpersonalis posmodern. Mereka menganggap keasadaran transpersonal, sebenarnya merupakan keadaan yang biasa. Kita, manusia modern, menganggapnya seolah luar biasa, karena kita membuang kondisi kesadaran seperti ini. Kelompok ini menerima kisah-kisah para dukun shamanisme dan mistikus dalam semangat relativisme pluralistik. Mereka justru mengecam filsafat perennial yang mengungkapkan pengalaman mistik sebagai totaliter dan fasistik karena mengagungkan hierarki.

d.      Kelompok integral.
Kelompok psikologi transpersonal yang keempat adalah kelompok integral. Kelompok ini menerima hampir semua fenomena kesadaran yang diteliti oleh ketiga kelompok tadi. Yang berbeda, kelompok ini juga menerima konsep-konsep psikologi transpersonal dari aliran pramodern dan posmodern. Salah seorang tokohnya adalah Ken Wilber, yang nanti akan dibahas pada bab khusus. Kelompok pertama, kedua dan ketiga merupakan kelompok yang berada–bahkan bersebarangan–dengan agama formal. Helena Blavastky, yang berada pada kelompok yang pertama, misalnya, mengharuskan para anggotanya untuk tidak memiliki kecenderungan kepada agama tertentu.
  1. AGAMA
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
• menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
• menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
C. HUBUNGAN ANTARA PSIKOLOGI TRANSPERSONAL DENGAN AGAMA
a. Psikologi Transpersonal
Ken Wilber melihat bahwa psikologi, psikoterapi, filsafat dan tradisi spiritual tidak perlu bersaing dan saling menyingkirkan. Kita harus bisa melihat semuanya berada dalam spektrum kesadaran dan pengalaman yang berbeda.
Menurutnya, manusia bergerak dari tahap prapersonal ke personal lantas transpersonal. Pada tiap tahap yang baru manusia senantiasa mengintegrasikan ciri-ciri “kepribadian” tahap sebelumnya. Untuk kasus sains dan agama, sudah tiba saatnya keduanya untuk berinterasi.
Tokoh yang juga tak bisa diabaikan dalam pendirian aliran ini adalah Anthony Suttich, Abraham Maslow, Stanislav Grof, dan Victor Frankl yang dari pertemuan mereka istilah transpersonal ini lahir.
Empat asumsi dasar dari psikologi ini adalah:
  1. pendekatan kepada penyembuhan dan pertumbuhan yang menyentuh semua tingkat spectrum identitas: prapersonal, personal, dan transpersonal;
  2. mengakui terurainya kesadaran diri terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi;
  3. kebangkitan (awakening) dari identitas kecil menuju identitas yang lebih besar;
  4. membantu proses kebangkitan dengan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri. Hal ini mengantar pada apa yang sekarang lazim dikenal sebagai intervensi spiritual dalam psikoterapi.Maka, sekarang, psikolog tampaknya harus mengerti agama dan agamawan harus belajar psikologi.
b. Posmodernisme
Ken Wilber memberi catatan tentang hubungan sains dan agama dalam bentuk 5 situasi:
  1. Sains menolak keabsahan agama. Kaum positivis dan empiris menjadi pendukung utamanya: Comte, Freud, Marx, Bertrand Russel. Bagi mereka, agama patologi bagi kepribadian yang dewasa;
  2. Agama menolak keabsahan sains. Bentuk reaksi kaum fundamentalis terhadap modernitas yang mencemoohkan agama sebagai fantasi anak-anak;
  3. Sains hanyalah salah satu diantara beberapa cara mengetahui yang abash, dan karenanya keduanya bisa berkoeksistensi secara damai. Mistikus Kristen seperti St. Bonaventure dan Hugh dari St. Victor pernah menjelaskan 3 macam mata: eye of flesh (yang beri pengetahuan empiris / sains), eye of mind (yang beri pengetahuan rasional: logika dan matematika), dan eye of contemplation (yang beri pengetahuan ruhaniah / gnosis). Argument ini biasa disebut pluralisme epistemologis. Wilber menyatakan: mata daging bersifat monologis, mata jiwa bersifat dialogis, dan mata kontemplatif bersifat translogis;
  4. Sains menawarkan “plausibility arguments” tentang eksistensi ruh (spirit). Sebagai variasi pluralisme epistemologis, ketika sains sampai pada rahasia terdalam dunia fisik, mereka menemukan fakta dan data yang tampaknya menuntut perlunya mengikutsertakan Maha-intelegensi yang berada di luar wilayah material. Dalam bahasa Sir James Jeans, “in the mind of some eternal Spirits“;
  5. Sains itu sendiri bukanlah pengetahuan tentang dunia, tetapi hanyalah penafsiran tentang dunia, dan karena itu dari segi keabsahan, sains tidak lebih dan tidak kurang dari puisi dan seni. Inilah yang menurut Wilber esensi dari posmodernisme. Dunia baginya tidak dipersepsi, tetapi hanya ditafsirkan. Berbagai penafsiran sama-sama absah untuk memahami dunia. Sains tidak menawarkan “kebenaran”, tetapi hanya prasangka favorit yang dipaksakan secara sewenang-wenang. Klaim sains dan agama sama-sama dihancurkan, manusia dilemparkan dalam jurang relativisme.
c. Bentuk-bentuk Interaksi Psikologi dan Agama
Jones menyebut 3 model interaksi psikologi dan agama:
  1. Kritis-evaluatis. Teori-teori psikologi dikaji secara kritis apakah tidak bertentangan dengan keyakinan agamanya. Jadi, psikologi diletakkan di bawah mikroskop agama;
  2. Konstruktif. Agama membantu psikolog untuk melihat dunia dengan cara yang baru, membentuk persepsi baru tentang data dan teori. Ajaran agama tidak menjadi sumber data untuk mengevaluasi teori, tetapi menjadi “kacamata” yang mempengaruhi apa yang kita lihat sebagai data atau yang kita rumuskan sebagai teori;
  3. Dialogis dan dialektis. Disini, psikologi tidak memaksa agama mengikuti jalan yang dikehendakinya, sebaliknya agama tidak memaksa sains untuk tunduk pada kehendaknya. Agama harus membantu psikologi memberi perspektif yang berbeda. Psikologi harus membantu agama melihat kehidupan yang berbasiskan pengalaman empiris.
Jones menyatakan: “Kesediaan dialogis dengan agama menyiratkan kesediaan ilmuwan dan professional untuk mendalami teologi dan filsafat. Serta kesediaan teolog dan filosof untuk mendalami sains dan memahami profesi”



2 komentar: