Sabtu, 24 Desember 2011

ZUHUD


ZUHUD
A.Pengertian Zuhud
Zuhud secara bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu: Bersedia untuk melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan duniawi, dan hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT. Sebagaimana yang di ungkapkan ulama:

مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ زَاهِدٍ

“Ma Qalla amalun baraza Min qalbin Zaahidin”
(tidak ada amalan kecil yang lebih mulya dari dalam hati seorang yang menjauhi dunia, melainkan berbuat zuhud).
Zuhud dalam aplikasi kehidupannya, mampu melahirkan satu maqam dan cara hidup yang oleh para ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai setelah maqam taubah.

Itu karena, seseorang yang benar-benar zuhud sudah meninggalkan symbol-symbol duniawi setelah benar-benar dia melakukan taubah al-nasuuha, dengan satu pandangan bahwa hidup di dunia tak lebih daripada sebatas permainan dan canda gurau.[1]

            Definisi Zuhud,Hakikat dan Pembagiannya Zuhud secara bahasa artinya lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia. Berkata Ibnul Qayyim, “Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab -yang merupakan bahasa Islam- mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”Beliau juga berkata, “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ‘Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat’

 

 

B.     Definisi Zuhud

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2] Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi .
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah .
kita memahami zuhud sebagai perilaku meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni hal-hal yang bersifat rohani. Tidak jauh dari pengertian tersebut, dalam Ensiklopedi Tasawuf terbitan Angkasa, Bandung (2008), dari segi bahasa, zuhud berarti meninggalkan, tidak menyukai atau mengambil sedikit.Adapun dari segi istilah berarti mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi atau meninggalkan hidup kematerian. Orang zuhud (zahid) adalah orang yang meninggalkan dunia untuk mendapatkan apa yang ada pada Allah.[3]
Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan salah satu tahapan, atau maqam yang harus dilalui calon sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sebelum menjadi sufi, ia harus menempuh jalan panjang yang berisi maqamat. Seorang calon sufi harus terlibat dahulu menjadi orang yang zuhud (zahid), setelah menjadi zahid barulah ia bisa meningkat menjadi sufi.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal.Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[4] .Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah.Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya .
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”.
C.    Tingkatan Zuhud
Zuhud terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu :
  1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang ‘awwam, dan ini adalah fardhu ‘ain.
  2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.
  3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.

Bukanlah makna zuhud itu menolak dunia secara keseluruhan dan meninggalkannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin orang-orang yang zuhud mempunyai sembilan orang istri; Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas salaam dua nabi yang zuhud, keduanya mempunyai kerajaan sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur`an, demikian juga para shahabat radhiyallaahu ‘anhum yang merupakan orang-orang yang zuhud, mereka pun mempunyai harta, istri dan anak-anak, dan hal ini telah dikenal oleh kita semua. Karena zuhud itu adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal yang bermanfaat seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini semua tidaklah mengurangi zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan akhirat.

D.    Pendorong Zuhud
Ada beberapa hal yang akan menjadikan kita zuhud terhadap dunia, di antaranya:
  1. Kuatnya iman hamba dan menghadirkan diri seolah-olah menyaksikan apa-apa yang di sisi Allah, dan menyaksikan kedasyatan hari kiamat, inilah yang akan menjadikan hilangnya kecintaan terhadap dunia dan kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya dia pun berpaling dari kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan yang sedikit saja darinya.[5]
  2. Seorang hamba harus merasakan dan menyadari bahwasanya dunia itu akan menyibukkan hati dari terikat dengan Allah, dan akan menjadikan seseorang terlambat dari mencapai tingginya derajat di akhirat, dan bahwasanya seseorang kelak akan ditanya tentang kenikmatan yang ada padanya, Allah berfirman yang artinya,”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” [At-Takaatsur:8]
  3. Dunia tidak akan didapat oleh seorang hamba sampai dia bersusah payah dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, dia mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya dan pikirannya, dan kadang-kadang dia pun mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan lainnya. Yang seharusnya dia kerahkan tenaga dan pikirannya tersebut untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad dan beribadah kepada Allah. Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang hatinya, akan menjadikan dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan kekal yaitu akhirat.
  4. Al-Qur`an telah merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya dan bahwasanya dunia itu sesuatu yang menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Semua nash/dalil ini baik yang ada di dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, akan menjadikan seorang mukmin bosan terhadap dunia, dan dia hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.
Maka zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia adalah sebab terbesar yang akan mendatangkan kecintaan manusia kepadanya.Dengan zuhud niscaya manusia mendapatkan ketenangan hidup di dunia dan di akhirat, birahmatillaah. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki manusia.


  1. Kesimpulan
Makna kezuhudan kita pada dunia adalah dengan berpaling darinya.Zuhud memunyai surah (contoh) dan hakikat. Surah zuhud, antara lain mencukupkan dan membatasi diri dari aneka ragam makanan, pakaian, dan perhiasan. Inilah yang dulu dilakukan Rasulullah dan sebagian besar sahabat beliau.Namun, ini bukan inti sebenarnya. Zuhud tidak lebih sebagai cara untuk membersihkan hati dari sifat keduniawian.
Dengan demikian hakikat zuhud adalah kesamaan pandangan dan sikap antara penerimaan dan berpalingnya manusia terhadap dunia.Tidak berbeda baginya antara ada dan tidak adanya kebahagiaan dunia di hadapannya. Dengan kata lain, zahid (ahli zuhud) akan merasa sama saat memakai baju seharga seratus ribu atau yang hanya berharga seribu. Jika hati dan perasaannya sama tatkala memiliki harta sejuta pada hari ini dan esoknya memiliki seribu, atau tidak memiliki sama sekali, maka dia zahid yang sebenarnya.
Jadi seorang zahid tidak harus miskin.Sebaliknya orang yang tidak punya harta belum tentu zahud. Terkadang seseorang tergolong fakir, tetapi dalam pandangan Allah termasuk ahli dunia, karena otaknya hanya memikir dan mengharap dunia, menghasud orang lain yang dikarunia rezeki, membenci, dan mendengki. Terkadang seseorang memunyai harta banyak, tetapi itu tidak membuatnya lupa. Bahkan, ia menafkahkannya di jalan Allah,
menyedekahkannya dalam kebaikan, atau menggunakannya untuk kepentingan agama
Zuhud artinya tidak merasa bahwa kekayaan dan harta itu kita yang punya.Zuhud artinya merasakan harta dan kekayaan itu kepunyaan Allah yang perlu dibagi-bagikan kepada yang berhak.Zuhud bukan bermaksud tidak kaya atau tidak berharta.Zuhud artinya mempunyai kekayaan di tangan tapi tidak di hati.Orang yang zuhud ialah orang yang telah memiskinkan dirinya hingga mudah baginya menggunakan kekayaannya untuk masyarakat dan golongan yang memerlukan.









Daftar pustka

Nata, Abiddin. 1996. Akhlak Tasawuf.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Mustofa, Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia
Shaltat, Mahmud. 1994. Aqidah Dan Syari’at Islam.Jakarta : Bumi Aksara
Al Baqir, Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung. Karisma.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf, ( Surabaya : Bina Ilmu: 1995 )













[1] Nata, Abiddin. 1996. Akhlak Tasawuf.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[2] Mustofa, Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia
[3] Shaltat, Mahmud. 1994. Aqidah Dan Syari’at Islam.Jakarta : Bumi Aksara
[4]Al Baqir, Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung. Karisma.

[5] Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf, ( Surabaya : Bina Ilmu: 1995 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar